Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
Hari Kamis, 25 September 2025, Direktorat Kewaspadaan Nasional Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan Hybrid Meeting dan Sosialisasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di daerah. Kegiatan yang dimulai dari jam 08.30 WIB ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penindakan TPPO, sekaligus sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya kejahatan perdagangan orang.
Dari Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Sekretaris Kelurahan M. Arief Budiman, S.Kesos turut hadir dan berpartisipasi dalam acara tersebut.
Direktur Kewaspadaan Nasional dalam laporannya menyampaikan bahwa latar belakang kegiatan ini didasari oleh meningkatnya kasus TPPO, baik secara global maupun di Indonesia. Beliau menekankan bahwa Presiden Republik Indonesia telah menetapkan TPPO sebagai salah satu fokus utama dalam penanganan di tingkat nasional.
Dalam sesi paparan, Direktur Tindak Pidana TPPO dan PPPA Bareskrim Polri memaparkan data terbaru dari saluran pengaduan SAPA 129 Kemen PPPA, di mana selama Januari-Mei 2025, Jawa Barat mencatat angka kasus TPPO tertinggi sebanyak 262 kasus, diikuti oleh DKI Jakarta (181 kasus) dan Jawa Timur (105 kasus). Selain itu, terdapat 136 korban Warga Negara Indonesia (WNI) yang saat ini berada di luar negeri akibat TPPO.
Terdapat pula data jenis kekerasan untuk periode yang sama, yakni KDRT 457 korban, TPPO 153 korban, Kekerasan Berbasis Gender (KBG) 208 korban, Kekerasan Seksual/Eksploitasi (KS/SE) 280 korban, aborsi 2 korban, dan perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi (PSH) 1 korban.
Adapun modus tindak pidana perdagangan orang yang teridentifikasi terbagi menjadi dua kategori, yaitu modus lama dan modus baru.
Modus lama meliputi pemalsuan dokumen (KTP, paspor, dan lainnya), kawin kontrak antar WNI dengan WNA dari Timur Tengah atau WNI keturunan Tionghoa ke Taiwan/Hongkong, penggunaan visa kunjungan untuk bekerja di luar negeri, penempatan CPMI informal secara non-prosedural, serta perekrutan langsung oleh pelaku atau jaringan pelaku.
Sementara modus baru mencakup pemalsuan surat keterangan Disdukcapil, perkawinan pesanan terutama ke China, penggunaan visa kunjungan lalu penelantaran korban, Malaysia dan Singapura sebagai tempat transit, perekrutan melalui media sosial, hingga proses di mana korban tidak bertemu langsung dengan pelaku.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan PMI Non Prosedural (BP2MI) menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanganan TPPO. Pemerintah daerah didorong untuk:
1. Memberikan edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi rutin mengenai migrasi aman.
2. Menegakkan hukum dengan memastikan pelaku perekrutan diproses aparat terkait, serta memastikan prosedur keberangkatan warga ke luar negeri telah sesuai aturan.
3. Memperkuat kerjasama dan kemitraan, khususnya melalui peran Gugus Tugas Daerah dan partisipasi seluruh pihak dalam membangun sistem migrasi aman.
4. Memberikan perlindungan optimal bagi korban, termasuk penyediaan anggaran untuk pemulangan korban dan proses pemberdayaan ekonomi serta pelatihan keterampilan sebagai bagian dari re-integrasi.
5. Melaksanakan evaluasi secara berkala terhadap program migrasi aman dan pengelolaan informasi terkait kasus viral.
6. Gencar melakukan sosialisasi, baik lewat media cetak, elektronik, media sosial, serta melibatkan tokoh masyarakat dan agama untuk mencegah bujuk rayu agen perdagangan orang.
7. Mengalokasikan pendanaan tidak hanya dari APBN, tetapi juga dari APBD dan APBDes untuk mendukung kegiatan pencegahan TPPO.
Melalui kegiatan ini diharapkan sinergi antarpemangku kepentingan terus meningkat dalam upaya pencegahan maupun penanganan TPPO demi perlindungan masyarakat Indonesia.